Rabu, Januari 15, 2025
No menu items!

Kemenkes Pinta Ubah Kebiasaan Cegah Resistansi Antimikroba hingga WHO beri 13 Rekomendasi

Jakarta, Satu Indonesia – Resistansi antimikroba (AMR) menjadi ancaman nyata yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan, dan ekonomi. Untuk meningkatkan kesadaran publik, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bersama mitra strategis menyelenggarakan acara puncak Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba Sedunia (WAAW) 2024.

Acara yang mengusung tema global “Educate, Advocate, Act Now” berlangsung di Bundaran HI, Jakarta pada Minggu (8/12/2024).

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam sambutannya menyoroti dampak serius dari resistansi antibiotik. Ia membagikan pengalamannya saat kunjungan kerja ke Kendari, di mana ia menyaksikan tingginya angka kematian akibat infeksi yang tidak lagi responsif terhadap pengobatan antibiotik.

“Kita melihat pembelian antibiotik di Indonesia meningkat dari Rp5-6 triliun per tahun menjadi Rp10 triliun. Banyak yang digunakan tanpa resep dokter, bahkan tersebar di lingkungan seperti sungai dan laut,” ujar Menkes, dalam keterangannya, dikutip Senin (9/12/2024).

Tidak hanya berdampak pada kesehatan, resistansi antibiotik juga merugikan sektor ekonomi dan lingkungan. Salah satu contohnya adalah penolakan produk laut Indonesia di pasar internasional karena kadar antibiotik yang tinggi.

Menkes menegaskan bahwa resistansi antimikroba adalah ancaman yang harus segera ditangani melalui perubahan perilaku masyarakat.

Masyarakat diajak untuk lebih bijak dalam menggunakan antibiotik, seperti hanya menggunakannya sesuai resep dokter, menghindari pembelian bebas, dan tidak menggunakan antibiotik secara berlebihan pada hewan.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin saat menghadiri acara puncak Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba Sedunia (WAAW) 2024 di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/12/2024) | Kemenkes/HO.

“Resistansi antibiotik adalah ancaman nyata. Jika kita terus membiarkan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol, di masa depan, obat-obatan ini tidak lagi efektif melawan infeksi. Mari bersama-sama mengedukasi masyarakat dan mendorong perilaku bijak dalam penggunaan antibiotik,” lanjutnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan dr. Azhar Jaya menyoroti pentingnya keterlibatan berbagai pihak dalam mengatasi resistansi antimikroba.

“Ini bukan hanya soal kesehatan individu, tetapi juga menyangkut keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan ekonomi kita. Upaya pengendalian resistansi antimikroba membutuhkan kolaborasi dari berbagai sektor, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat,” jelas dr. Azhar.

dr. Azhar menambahkan bahwa perubahan perilaku masyarakat adalah fondasi untuk mencegah meluasnya resistansi antimikroba.

“Kami berharap kegiatan ini dapat membuka wawasan publik dan menginspirasi tindakan nyata untuk melindungi masa depan generasi mendatang,” pungkasnya.

Kemenkes berharap momentum ini dapat mendorong masyarakat untuk lebih bijak dalam penggunaan antibiotik, melindungi lingkungan, dan memastikan kesehatan generasi mendatang.

WHO Rekomendasi Penanganan Resistansi Antimikroba

Sebelumnya, organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis paket 13 jenis intervensi negara sebagai langkah prioritas untuk mengembangkan, menerapkan, dan memantau rencana aksi nasional mengenai resistansi antimikroba (AMR) pada 19 Oktober 2023 lalu.

Berbagai intervensi itu dipaparkan dalam dokumen People-Centred Approach to Addressing Antimicrobial Resistance in Human Health: Who Core Package of Interventions to Support National Action Plans.

AMR adalah ancaman kesehatan dan pembangunan global. Hal ini memerlukan tindakan multisektor yang mendesak untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Intervensi WHO ini menjawab kebutuhan dan hambatan yang dihadapi masyarakat dan pasien ketika mengakses layanan kesehatan melalui pendekatan AMR yang berpusat pada masyarakat.

AMR adalah salah satu penyebab utama kematian global. Ia bertanggung jawab atas sekitar 1,27 juta kematian dan berhubungan dengan 4,95 juta kematian pada tahun 2019. Kegagalan dalam mengatasi AMR akan berdampak besar terhadap perekonomian dunia hingga US$ 100 triliun pada tahun 2050. Saat ini lebih dari 170 negara telah mengembangkan rencana aksi nasional mengenai AMR tapi penerapannya masih terfragmentasi dan terisolasi serta memerlukan komitmen politik dan investasi yang lebih besar.

Antimikroba, termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit , adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan. AMR terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah seiring berjalannya waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan tersebut sehingga infeksi menjadi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah, dan kematian.

AMR terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan, yang merupakan pendorong utama berkembangnya patogen yang resistan terhadap obat. Selain itu, berkurangnya air bersih dan sanitasi serta pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak memadai mendorong penyebaran mikroba, yang beberapa di antaranya resistan terhadap pengobatan antimikroba.

Dampak AMR sangatlah besar. Selain kematian dan kecacatan, penyakit yang berkepanjangan mengakibatkan masa rawat inap yang lebih lama, kebutuhan akan obat-obatan yang lebih mahal, dan beban keuangan bagi mereka yang terkena dampaknya. Tanpa antimikroba yang efektif, keberhasilan pengobatan modern dalam mengobati infeksi, termasuk selama operasi besar dan kemoterapi kanker, akan mengalami peningkatan risiko.

Kemunculan dan penyebaran patogen yang resistan terhadap obat telah mendorong mekanisme resistansi baru yang mengarah pada resistansi antimikroba yang mengancam kemampuan kita untuk mengobati infeksi umum. Yang paling mengkhawatirkan adalah penyebaran global yang cepat dari bakteri yang resistan terhadap berbagai bakteri, yang dikenal sebagai “kuman super”, yang menyebabkan infeksi yang tidak dapat diobati dengan obat antimikroba yang ada seperti antibiotik.

Pada 2019, WHO mengidentifikasi 32 antibiotik dalam pengembangan klinis yang sesuai dengan daftar patogen prioritas WHO dan hanya enam di antaranya yang diklasifikasikan sebagai inovatif. Selain itu, kurangnya akses terhadap obat antimikroba bermutu masih menjadi masalah utama di sejumlah negara. Kekurangan antibiotik ini mempengaruhi negara-negara dalam pembangunan dan khususnya dalam sistem layanan kesehatan.

Antibiotik menjadi semakin tidak efektif karena resistansi obat menyebar secara global sehingga menyebabkan infeksi menjadi lebih sulit diobati dan menyebabkan kematian. Namun, jika masyarakat tidak mengubah cara penggunaan antibiotik saat ini, antibiotik baru ini akan mengalami nasib yang sama seperti antibiotik yang ada saat ini dan menjadi tidak efektif.

Tanpa langkah yang efektif untuk pencegahan dan pengobatan yang memadai terhadap infeksi yang resistan terhadap obat dan peningkatan akses terhadap antimikroba yang sudah ada dan yang baru dengan kualitas yang terjamin, jumlah orang yang mengalami kegagalan pengobatan atau meninggal karena infeksi akan meningkat. Prosedur medis, seperti pembedahan, termasuk operasi caesar, kemoterapi kanker, dan transplantasi organ, akan menjadi lebih berisiko.

Berdasarkan Rencana Aksi Global untuk AMR, WHO menyusun dokumen mengenai penanganan AMR yang berpusat pada masyarakat. Penanganan ini bertujuan untuk mengubah narasi AMR dengan menempatkan kebutuhan masyarakat dan hambatan sistem sebagai pusat perhatian serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman AMR di kalangan pembuat kebijakan dan masyarakat.  Hal ini juga mendukung respons yang lebih terprogram dan komprehensif terhadap AMR yang menekankan pentingnya akses yang adil dan terjangkau terhadap layanan kesehatan berkualitas untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan infeksi yang resistan terhadap obat.

“AMR adalah prioritas kesehatan masyarakat dan sosio-ekonomi global. Serangkaian intervensi praktis ini, berdasarkan kebutuhan akan respons kuat yang berpusat pada masyarakat di sektor kesehatan manusia, akan memberikan kontribusi besar terhadap aksi One Health di bawah payung rencana aksi nasional multisektoral mengenai AMR,” kata Kitty Van Weezenbeek, Direktur Pencegahan, Pengawasan, dan Pengendalian Divisi AMR WHO, dalam rilis WHO pada 19 Oktober 2023 lalu.

Dokumen tersebut juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat, swasta, dan akademisi dalam pengembangan dan implementasi rencana aksi nasional mengenai AMR. Dia menyoroti peluang untuk mengintegrasikan respons AMR ke dalam kebijakan dan program layanan kesehatan primer serta upaya kesiapsiagaan dan respons darurat kesehatan.

“Paket ini membantu pembuat kebijakan mengidentifikasi sinergi dengan program sektor kesehatan yang lebih luas, memastikan efisiensi dan keberlanjutan tindakan AMR,” kata Anand Balachandran, Kepala Unit Rencana Aksi dan Pemantauan Nasional Divisi AMR WHO, dikutip Senin (9/12/2024).

Secara keseluruhan, pendekatan yang berpusat pada masyarakat dirancang untuk memastikan akses yang adil dan terjangkau terhadap layanan pencegahan berkualitas baik, diagnosis tepat waktu, serta pengobatan dan perawatan yang tepat terhadap infeksi (yang resistan obat) untuk mengurangi dampak AMR pada pasien. Di sisi lain, langkah ini akan berkontribusi terhadap pencapaian SDG.

13 Intervensi WHO

WHO telah merilis rekomendasi yang terdiri dari 13 intervensi untuk memandu penentuan prioritas negara ketika mengembangkan, menerapkan dan memantau rencana aksi nasional mengenai AMR. Berikut ini 13 intervensi penting tersebut.

  1. Advokasi, tata kelola, dan akuntabilitas AMR di sektor kesehatan manusia dengan bekerja sama dengan sektor lain.
  2. Peningkatan kesadaran, pendidikan, dan perubahan perilaku mengenai AMR pada petugas kesehatan dan masyarakat.

Langkah mendasar: Informasi strategis melalui pengawasan dan penelitian

  1. Jaringan surveilans AMR nasional untuk menghasilkan data berkualitas baik untuk perawatan pasien dan tindakan terhadap AMR
  2. Pengawasan konsumsi dan penggunaan antimikroba untuk memandu perawatan pasien dan tindakan terhadap AMR.
  3. Penelitian dan inovasi AMR termasuk ilmu perilaku dan implementasi.

Pilar 1: Pencegahan

  1. Akses universal terhadap air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) serta pengelolaan limbah untuk mitigasi AMR.
  2. Penerapan komponen pencegahan dan pengendalian infeksi (IPC) untuk mitigasi AMR.
  3. Akses terhadap vaksin dan perluasan imunisasi untuk menangani AMR.

Pilar 2: Akses terhadap layanan kesehatan esensial

  1. Layanan diagnosis dan manajemen kesehatan AMR yang terjangkau bagi semua orang.
  2. Pasokan antimikroba esensial dan produk kesehatan yang terjamin kualitasnya dan tidak terputus untuk AMR.

Pilar 3: Diagnosis tepat waktu dan akurat

  1. Sistem laboratorium berkualitas baik dan tata laksana diagnostik untuk memastikan pengujian bakteriologi dan mikologi klinis.

Pilar 4: Perawatan yang tepat dan terjamin mutunya

  1. Pedoman dan program pengobatan berbasis bukti mutakhir untuk pengelolaan antimikroba.
  2. Peraturan untuk membatasi penjualan antimikroba non-resep

Redaksi

TERPOPULER

TERKINI