satuindonesia.co.id, Jenewa – Forum Global Refugee Forum atau GRF diselenggarakan dengan tujuan untuk melihat kemajuan komitmen negara dan stakeholders lain yang telah disampaikan pada tahun 2019.
Kemudian, membahas isu-isu terkait masalah pengungsi, termasuk burden-responsibility sharing; serta membahas respon-respon yang perlu dilakukan secara komprehensif.
Kehadiran Indonesia dalam Forum yang dihadiri oleh lebih dari 140 negara tersebut, menjadi sangat penting. Khususnya ditengah situasi beberapa waktu terakhir ini di mana Indonesia menghadapi tantangan masuknya para pengungsi Rohingya.
“Dalam GRF, saya menyampaikan bahwa dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Global Refugee Forum atau GRF, Jenewa (13/12/2023).
Kala in, dunia tengah menghadapi lonjakan pengungsi yang sangat besar dan salah satu penyebabnya adalah perang dan konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Karena itu, “Akar masalahnya harus kita selesaikan,” ujar Menlu.
“Saya ingatkan bahwa kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk menghentikan perang dan konflik, dan menghormati hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional,” sambungnya.
Kewajiban ini, Retno menuturkan, juga berlaku untuk Palestina. Rakyat Palestina telah terusir dari rumah dan tanah mereka dan mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, tanah mereka direbut dan diambil.
Dan sekarang, lanjut dia menerangkan “Rakyat Gaza menjalani mimpi buruk mereka karena upaya untuk genjatan senjata terus menghadapi hambatan,”.
Sementara itu, kata Retno, di Myanmar kekerasan terus terjadi yang memaksa kaum Rohingya meninggalkan rumah mereka yaitu Myanmar.
Karena itu, “Saya mengajak masyarakat internasional bekerja sama untuk menghentikan konflik dan memulihkan demokrasi di Myanmar, sehingga pengungsi Rohingya dapat kembali ke rumah mereka,” ujarnya.
Selain itu, di dalam Forum GRF dia lanjut menegaskan, “Saya juga mengingatkan adanya indikasi kuat bahwa para pengungsi telah menjadi korban dari tindak pidana perdagangan dan penyelundupan manusia atau TPPO termasuk ribuan pengungsi yang datang ke Indonesia,”.
Adanya TPPO semakin menambah kompleksitas dan sulitnya penanganan isu pengungsi.
“Saya jelaskan bahwa Indonesia tidak akan ragu-ragu untuk memerangi TPPO
yang merupakan kejahatan transnasional,” tukasnya.
Kendati demikian, Indonesia tidak dapat menjalankannya sendiri. Untuk itu, diperlukan kerja sama yang erat, baik di kawasan maupun internasional untuk memerangi TPPO.
“Saya juga tekankan pentingnya penguatan kerja sama dengan UNODC, UNHCR dan juga IOM dalam penanganan masalah ini,” terang Retno.
Selain itu, Ia menambahkan “Saya juga menekankan kewajiban menerima resettlement bagi negara pihak Konvensi Pengungsi. Saya sampaikan proses resettlement akhir-akhir ibu berjalan dengan sangat lamban,”.
Banyak negara pihak, bahkan menutup pintu mereka untuk para pengungsi.
“Saya menyampaikan bahwa Indonesia akan terus memperkuat komitmennya khususnya melalui kerja sama dalam kerangka Bali Process sebagai adalah forum kerjasama dan konsultasi bagi penanganan tindak pidana people smuggling, trafficking in persons dan tindak pidana terkait lainnya antara negara asal, negara transit dan negara tujuan,” tutupnya
dalam pertemuan GRF.
Redaksi