satuindonesia.co.id, Samarinda – Kelapa sawit telah menjadi pilar utama perekonomian Indonesia. Kontribusinya terhadap devisa negara, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan daerah tidak dapat dipungkiri.
Pertumbuhan industri hilir minyak sawit yang pesat, menghasilkan beragam produk mulai dari pangan hingga energi terbarukan, semakin mengukuhkan posisi strategis komoditas ini. Ironisnya, kampanye negatif yang terus digencarkan berusaha menodai reputasi kelapa sawit dengan menyebarkan informasi yang menyesatkan dan membesar-besarkan isu-isu minor.
“Masalah lama terulang kembali dan data ilmiah sering kali diabaikan. Akibatnya, persepsi negatif terhadap minyak sawit semakin meluas baik di dalam negeri maupun internasional,” kata Ketua Bidang Kampanye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Pusat, Edi Suhardi, usai menjadi pembicara pada acara Bekesahan dengan Bubuhan Milenial terkait kelapa sawit ini di Puri Senyiur Hotel, Jl. Ruhui Rahayu 1 No. 26 Samarinda sekira pukul 08.00-16.30 Wita, Kamis (31/10/2024).
Edi Suhardi yang mewakili ketua Gapki Pusat itu diundang oleh Gapki Kaltim untuk menjadi pembicara pada kegiatan tersebut, dan membawakan materi berjudul Perspektif Sawit Positif dan 24 Jam Bersama Sawit.
Acara ini dibuka kepala Dinas Perkebunan mewakili Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim lantaran berhalangan hadir. Peserta dari perguruan tinggi dan SMK serta SMA di Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara dan Bontang. Gapki ajak milenial dan Gen-Z Kaltim untuk bela sawit dan tangkal kampanye negatif, sehingga tajuk acaranya pun berbentuk edukasi, peran dan perspektif industri kelapa sawit berkelanjutan pada kaum milenial.
Dia mengungkapkan, upaya terkoordinasi untuk mendiskreditkan minyak sawit telah membuahkan hasil dengan diberlakukannya peraturan yang lebih ketat di Uni Eropa, seperti EUDR, yang membatasi penggunaan minyak sawit. Tentu saja hal ini merugikan petani dan industri kelapa sawit Indonesia.
“Mengapa minyak sawit begitu kontroversial? Salah satu alasannya adalah karena minyak sawit merupakan bahan mentah yang sangat kompetitif. Keterjangkauan harga minyak sawit menimbulkan ancaman bagi produsen minyak nabati lainnya seperti minyak bunga matahari dan minyak lobak di Eropa. Negara-negara ini menerapkan berbagai hambatan perdagangan, seperti tarif impor dan standar produk yang diskriminatif, untuk melindungi industri mereka,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Edi Suhardi, gerakan anti-minyak sawit seringkali mengabaikan pentingnya keseimbangan perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi. Tampaknya, kata dia, mereka hanya ingin memprioritaskan hutan tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat.
Faktanya, katanya, sebagian besar hutan di Indonesia telah terdegradasi dan lahan yang tidak produktif lagi sering diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Sayangnya, ujarnya lagi, banyak orang lebih percaya pada informasi yang disebarluaskan oleh LSM anti-sawit dibandingkan data ilmiah yang akurat. Padahal, industri sawit terus berupaya untuk menerapkan praktik-praktik berkelanjutan dan memenuhi standar internasional.
Ditekankannya, untuk melawan kampanye negatif, industri sawit perlu terus menyampaikan fakta dan data yang benar. Kampanye yang dilakukan harus berbasis pada akal sehat, dengan membandingkan informasi yang benar dan salah, serta mengklarifikasi isu-isu yang seringkali disalahartikan. Pemerintah juga harus berperan aktif dalam melindungi industri sawit sebagai salah satu pilar perekonomian nasional.
Lebih rinci ia membeberkan, bahwa industi sawit menjadi tumpuan penerimaan devisa negara. Pada 2022, devisa ekspor dari industri kelapa sawit mencapai US$ 39 miliar atau hampir mencapai Rp 600 triliun, yang menjadikan neraca perdagangan di Indonesia surplus US$ 56 miliar.
Pencapaian ekspor 2022, katanya, merupakan pencapaian ekspor tertinggi dalam sejarah. Pada 2023, perolehan devisa dari produk sawit mengalami penurunan menjadi hanya US$ 30 miliar, karena memang harga minyak sawit 2023 relatif lebih rendah dari 2022.
Saat ini, lanjut dia, Indonesia adalah produsen, eksportir dan konsumen terbesar minyak sawit terbesar di dunia, sehingga sangat mempengaruhi perdagangan minyak nabati dunia. Saat ini minyak sawit Indonesia sudah di ekspor ke lebih dari 160 negara di dunia. Pengunaan minyak sawit sudah sangat meluas.
Selain untuk minyak goreng, diungkapkannya juga digunakan untuk margarine, sabun, lipstick, pasta gigi, cocobutter, biodiesel dan lain-lain. Dengan minyak sawit sebagai biodesel, pada tahun 2023 Indonesia mampu menghemat devisa untuk mengimpor minyak bumi sebesar US 7,92 miliar atau setara dengan Rp 120,8 triliun.
Disamping itu, sambungnya, Industri sawit telah menjadi tumpuan sumber pendapatan bagi 16,2 juta tenaga kerja baik di sektor on farm (perkebunan sawit) maupun off farm (industri hilir maupun pendukungya).
Selain itu, kata dia lagi, industri sawit telah trigger pengembangan wilayah. Pengembangan perkebunan yang umumnya dikembangkan didaerah terpencil dengan saran dan parasana terbatas, telah berhasil mendorong pengembangan ekonomi wilayah berbasis perkebunan. Banyak daerah-daerah yang berkembang karena ekonomi kelapa sawit, termasuk di Sangatta, Kutim.
“Pengembangan perkebunan kelapa sawit umumnya dilakukan di lahan yang sudah terbuka (seperti bekas HPH) sehingga sekaligus memperbaiki tutupan lahan dengan vegetasi perkebunan. Di samping itu, dengan jumlah helaian daun yang sangat banyak, perkebunan sawit mampu memfiksasi carbon dioxide (CO) 2 menjadi O2 yang kita perlukan dalam kehidupan kita,” tegasnya.
(MH/SD)