satuindonesia.co.id, Jakarta – Pada 12 Desember 1997, melalui resolusi 52/149, Majelis Umum PBB memproklamasikan 26 Juni sebagai Hari Internasional PBB untuk Mendukung Korban Penyiksaan atau “International Day in Support of Torture Victims”.
Tujuan dari proklamasi ini adalah menghapus segala bentuk penyiksaan dan memfungsikan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia secara efektif.
Konvensi Anti Penyiksaan sendiri diadopsi oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 26 Juni 1987.
Sikap ini disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro di Jakarta pada Rabu (26/6/2024).
“Indonesia meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia,” ujar Ketua Komnas HAM, dalam keterangan resminya, dikutip Jum’at (28/6/2024).
Namun, sebut Nova, perundangan tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi maupun merendahkan martabat manusia. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beberapa peraturan yang melarang tindak penyiksaan.
Terdapat larangan tentang penyiksaan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan ”Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajad dan martabat kemanusiaan,” tambahnya.
Terkait penyiksaan itu sendiri, Nova menambahkan, terdapat juga di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menyatakan ”…dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan,” tukas Nova.
Selain itu, katanya, Undang-undang Sistem Peradilan anak juga menjamin bahwa anak yang berada dalam proses peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi dan bebas dari penyiksaan, penghukuman atau tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan derajat dan martabatnya.
Bahwa Pasal 529 dan Pasal 530 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mencantumkan tindakan paksaan dan tindakan penyiksaan sebagai bentuk tindak pidana.
“Komnas HAM menekankan pentingnya Indonesia untuk terus melakukan upaya penghapusan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang masih terjadi di Indonesia,” tegas Nova.
Dia lanjut menegaskan, menurut data pengaduan Komnas HAM selama periode 1 Januari 2020 sd. 24 Juni 2024, Komnas HAM menerima dan memproses pengaduan terkait penyiksaan sebanyak 282 aduan.
“Adapun kategori korban yang paling banyak mengalami dugaan pelanggaran HAM adalah individu sebanyak 167 aduan,” jelasnya.
Sementara itu, sambung Nova, masih menurut data Komnas HAM, pihak yang banyak diadukan adalah Polri yaitu mencapai 176 aduan. Untuk kasus kekerasan dan/penyiksaan oleh aparat sejak 1 Januari 2020- 24 Juni 2024 datanya mencapai 259 aduan dengan peringkat tertinggi aduan tentang
interogasi dengan penyiksaan (58 aduan).
“Data ini menunjukkan bahwa investigasi kriminal,
maupun upaya pemeliharaan ketertiban umum belum mempraktikkan pendekatan humanis
sehingga pelanggaran HAM rentan terjadi berulang,” tegasnya lagi.
Dengan demikian, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia menetapkan pelarangan terhadap penyiksaan sebagai hak yang tidak dapat dikesampingkan dalam kondisi apapun.
“Larangan terhadap penyiksaan bersifat mutlak sehingga negara wajib mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan lainnya yang efektif untuk memastikan pencegahan penyiksaan,” imbuhnya.
Sehingga, Ia menegaskan bahwa tidak ada satupun pengecualian untuk membenarkan tindakan penyiksaan. Bahkan dalam semua kondisi, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik, keadaan darurat, ataupun dengan alasan menaati perintah atasan ataupun pejabat yang berwenang
Untuk mewujudkan penghapusan dan pencegahan penyiksaan, Komnas HAM bekerja sama dengan berbagai pihak sehingga terjadi sinergi untuk mewujudkan upaya pencegahan dan penghapusan penyiksaan.
“Komnas HAM menekankan pentingnya untuk ratifikasi OPCAT (Protokol tambahan Konvensi atas Anti Penyiksaan) untuk membangun mekanisme pencegahan penyiksaan,” sebutnya.
Profesionalitas aparat dalam menjalankan tugas sesuai mandat, prosedural, dan pemahaman yang baik tentang standar hak asasi manusia, kesetaraan di hadapan hukum, adalah hal paling signifikan dalam upaya mencegah terjadinya penyiksaan selama proses hukum dilakukan.
Setiap tahun pada 26 Juni, dunia memperingati Hari Internasional untuk mendukung korban penyiksaan, hari ini didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekejaman
penyiksaan dan menunjukkan solidaritas kepada mereka yang telah menjadi korban dan mengalami penderitaan tersebut.
“Komnas HAM mengajak semua pemangku kepentingan untuk sama-sama mengoptimalkan fungsinya untuk memastikan pencegahan penyiksaan berjalan optimal sehingga penghormatan hak asasi manusia di Indonesia semakin baik,” tandasnya.
Redaksi