satuindonesia.co.id, Belanda – Kedeputian III Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan melanjutkan rangkaian kunjungan kerja studi perbandingan di Belanda.
Kerja studi kali ini, perbandingan soal pengaturan keadilan restoratif dalam peraturan perundang-undangan di Negeri Kincir Angin. Diskusi bersama dilakukan dengan Profesor Pinar Ölcer dan Profesor Adrian Bedner.
Keduanya merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Leiden yang memahami konsep dan filosofi hukum pidana Indonesia, Uni Eropa, dan tentunya Belanda.
Profesor Pinar Ölcer dalam penjelasannya menyampaikan bahwa, Belanda tetap menggunakan KUHP sejak tahun 1880. Dalam konstitusi Belanda, penuntut umum diberikan kewenangan menentukan variasi alternatif hukuman bagi pelaku kejahatan berupa pidana pengawasan dan kerja sosial.
“Hal ini memberikan dampak positif bagi Belanda karena beban pembiayaan negara dalam sebuah sistem peradilan pidana dapat ditekan,” kata Profesor Pinar Ölcer, dalam keterangan resminya, dikutip Jum’at (10/5/2024).
Selain itu, ditambahkannya, aparat penegak hukum dapat lebih fokus pada pemulihan korban. Bagian terpenting dalam sistem peradilan pidana Belanda adalah terbangunnya kepercayaan antar-penegak hukum dan lembaga-lembaga pendukungnya.
Dengan demikian, “Keputusan yang diambil aparat penegak hukum bisa dipertanggungjawabkan kepada publik,” ujarnya.
Sistem hukum pidana Belanda, diungkapkannya, juga dipengaruhi kebijakan Uni Eropa. Sejak tahun 2011 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Belanda telah memasukkan kebijakan Uni Eropa untuk menerapkan mediasi terhadap perkara pidana pelaku dewasa.
“Tujuannya agar kepentingan korban lebih diperhatikan,” jelas Profesor.
Dalam praktiknya, lebih lanjut dia menjelaskan, hasil mediasi berupa kesepakatan pelaku dan korban memudahkan jaksa dan hakim memperoleh masukan sebagai bahan pertimbangan menentukan hukuman atau tindakan kepada pelaku tindak pidana.
Kendati demikian, “Hasil mediasi tidak mengikat jaksa dan hakim dalam mengambil keputusan,” tegasnya.
Diskusi soal mediasi dalam proses pidana itu, berlangsung cukup panjang dan menarik. Selain itu, banyak hal dari prinsip-prinsip mediasi dalam diskusi tersebut, yang menambah pemahaman para delegasi.
Pemahaman ini akan digunakan untuk merumuskan konsep mediasi final dalam regulasi pengaturan keadilan restoratif di Indonesia.
Setelah berdiskusi dengan kedua profesor sekaligus guru besar tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Dr. Sugeng Purnomo beserta delegasi berkesempatan meninjau perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Leiden.
Rombongan diterima oleh Bryan E. Beemer yang menjelaskan berbagai koleksi buku yang dimiliki, termasuk peta keagrarian Indonesia.
Di samping itu, para delegasi Kemenko Polhukam dapat melihat secara langsung beberapa seri buku koleksi khusus hasil penelitian Van Volenhoven tentang Hukum adat Indonesia dan buku tentang Rancangan KUHAP tahun 1979.
Ada pula buku-buku terkait sejarah hukum Indonesia lainnya termasuk mengenai kompilasi perjanjian antara Indonesia dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Melalui peninjauan perpustakaan, delegasi Kemenko Polhukam dapat mempelajari sejarah hukum Indonesia melalui koleksi buku yang ada di Fakultas Hukum Leiden Belanda tersebut.
Setelah menyelesaikan kegiatan, delegasi Kedeputian Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam melanjutkan pertemuan dengan Yang Mulia Duta Besar Indonesia untuk Belanda di Den Haag, Mayerfas.
Dalam pertemuan tersebut, disampaikan maksud dan tujuan kegiatan serta ucapan terima kasih atas dukungan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) selama di Belanda.
Dubes Mayerfas juga mengharapkan kegiatan ini dapat memberi dampak yang baik bagi pembangunan hukum pidana di Indonesia.
“KBRI juga akan mendukung kerjasama antara Indonesia dan Belanda dalam pengembangan implementasi keadilan restoratif di Indonesia, termasuk mengusulkan perlunya transfer knowledge perkembangan hukum Belanda kepada aparat penegak hukum Indonesia secara berkelanjutan,”.ujar Dubes Mayerfas.
Transfer itu, sambung Duta Besar “Baik berupa pelatihan bersama maupun bentuk lainnya agar mengenal sudut pandang konsep pemidanaan di Belanda dan Eropa yang mengedepankan sanksi alternatif dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku,” tandasnya.
Redaksi